Sabtu, 05 Maret 2016

Mungkin Dia Lelah

Bekasi, 5 Maret 2016


Saya memberi judul ini, karena tadi sore secara tidak sengaja lewat depan rumahmu, ku melihat ada tenda biru.

Bukan.

Maksudnya, tidak sengaja mendengar sayup-sayup musik dengan lirik "Mungkin dia lelah" yang diulang berkali-kali saat intro.

Respon pertama saya adalah.


INI LAGU APAAN LAGI SIH?!!!


Karena banyak banget lagu yang muncul dengan menggunakan kata-kata populer, seperti sebelumnya ada Sakitnya Tuh Di Sini, Pusing Pala Barbie dan sebagainya.


Tapi bukan itu yang mau saya bahas.

Saya sering bepergian menggunakan sepeda motor, dan mengamati banyak hal saat sedang di perjalanan. Kita semua tahu jalanan Jakarta saat jam pulang kerja itu "gila", tak hanya macet, tapi pengendaranya mendadak jadi seperti gak punya akal sehat lagi. Dan saya sering kali melihat banyak pemotor yang sampai berhenti dipinggir jalan untuk sekedar duduk istirahat, bahkan sampai tidur di motor dengan posisi telungkup, sampai tiduran betulan.



Mungkin dia lelah.

Ya, sepengetahuan saya, orang-orang yang sampai tidur di jalan seperti ini adalah yang rumahnya di pinggiran Jakarta. Seperti Bekasi, Tangerang, Depok, karena perjalanan yang panjang dan macet, membuat energi terkuras dengan cepat, apalagi setelah seharian bekerja, mencari uang untuk bisa bertahan hidup. Saya sering berpikir mungkin berat sekali perjalanan mereka setiap hari hanya untuk bisa hidup di ibu kota ini, berangkat pagi-pagi sekali, pulang sudah larut karena harus berhenti untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Waktu untuk keluarga berkurang, sabtu dan minggu sudah terlalu lelah untuk jalan-jalan, rasanya hanya ingin tiduran dan bersantai, menunggu hari senin kembali tiba.

Banyak yang bilang jalanan macet karena motor banyak, kredit motor mudah.
Ada juga yang bilang karena 1 orang membawa 1 mobil.
Ada yang bilang juga ini karena pemerintah tak memberikan angkutan umum yang memadai.

Mungkin semuanya benar, saya pun memilih kemana-mana menggunakan motor selain karena alasan hobi saya, juga karena fleksibel, membutuhkan celah yang kecil untuk terus melaju di jalan macet, dan bisa melipir sesuka hati jika ingin mampir tanpa harus takut kehabisan angkutan umum jika saya mengandalkan itu, maklum saya seringkali pulang malam di mana angkutan umum sudah tidak beroperasi, hanya ada taksi, itupun berbahaya.

Berbahaya buat dompet saya.


Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi macet dan membantu orang-orang yang rumahnya jauh itu agar tak harus terhambat menuju rumah dan bisa cepat berkumpul dengan keluarganya?

Jawaban klise mungkin, tapi ini yang paling benar, dan paling susah diterapkan.

Mulai dari diri sendiri, jangan egois.

Setiap jam pulang kerja, tingkat keegoisan pengendara naik, semua merasa ingin "cepat sampai rumah, gua udah capek kerja seharian". Yang akibatnya, melanggar rambu, melawan arah, naik trotoar, mengambil jalur orang lain.

Dan saya sudah berusaha untuk menjadi pengendara yang taat dalam berlalu lintas, setidaknya saya baru 1x kena tilang seumur hidup saya, itupun karena lampu motor saya mati secara tidak sengaja karena switch on/off lampunya kendor dan turun sendiri akibat getaran mesin.

Saya berusaha berhenti dibelakang garis putih, masa bodo dengan yang klakson-klakson gak sabaran padahal lampu merah masih 2 detik.

Saya berusaha tidak naik trotoar.

Saya berusaha tidak mengambil jalur sebelah di jalan 2 arah meskipun sedang macet.

Saya berusaha sabar menunggu lampu hijau baru jalan.

Sulit? Mudah.
Yang bikin sulit adalah kebiasaan orang lain yang kadang memaksa kita untuk jadi pelanggar.
Marah-marah karena kita tidak mau maju, padahal sedang lampu merah, meskipun sedang kosong dari arah berlawanan, tetap saja, ini waktunya untuk berhenti.

Kenapa orang-orang seperti itu suka marah-marah?
Karena mereka habis bekerja seharian, memikirkan besok akan kembali mengulangi rutinitas yang sama, dan merasa taraf hidupnya tak kunjung meningkat.

Atau mungkin dia lelah.

Minggu, 10 Januari 2016

Setahun Sekali

Hari ini tanggal 10 Januari 2016. Sudah seminggu lebih dari malam pergantian tahun baru. Tapi dari rumah saya semalam masih terdengar suara ledakan petasan walau tidak banyak. Lalu saya berpikir "masa udah mau tahun baru lagi? perasaan baru kemarin deh".

Sudah seminggu lebih berlalu tapi masih ada yang main petasan, antara itu petasaan sisaan, atau sengaja disisain, atau justru itu gladi resik untuk persiapan tahun 2017. Ya saya tahu kita memang sudah 4 tahun selamat dari kiamat yang di ramalkan, tapi tidak usah sampai segitunya.

Saya pribadi tidak suka membeli petasan untuk merayakan pergantian tahun. Waktu SD petasan atau kembang api tentu menyenangkan, dapat uang jajan untuk membeli petasan di beberapa warung-warung atau lapak dadakan yang memang ramai saat hari-hari besar seperti itu, biasanya beli petasan atau kembang api juga mendapatkan bonus patahan obat nyamuk bakar untuk menyulut petasan, karena obat nyamuk awet nyala apinya, dan membantu mengusir nyamuk karena kita main petasan malam hari di lapangan (dulu masih banyak lapangan waktu saya kecil).

SMP saya mulai merasa membeli petasan dan kembang api merupakan hal yang percuma, semakin bertumbuh pola pikir dan kebutuhan saya yang memicu hal tersebut. Tapi saya masih menikmati petasan dari tetangga-tetangga saya, sekedar nonton atau disuruh nyalain.

SMA saya tidak beli petasan dan tidak nonton, saya lebih memilih berkumpul bersama teman-teman, ngobrol, bercanda lebih seru ketimbang nonton kembang api, suaranya cuma "Dar dor dar dor" tidak seru, tidak ada petasan yang suaranya "eh tau gak si Deni malam tahun baru ini beli kondom loh". Kalau teman saya suaranya seperti itu, makanya saya pilih ngobrol bersama teman.

Semakin dewasa saya semakin berpikir mengapa orang-orang masih membeli petasan sedangkan harga petasan semakin naik bersamaan dengan kebutuhan hidup yang tidak dibarengi dengan pendapatan. Memang kebanyakan orang-orang kaya yang membeli petasan dalam jumlah besar, tapi ada juga orang-orang yang masih banyak kebutuhan lain untuk dipenuhi, juga menghabiskan uang untuk petasan.

Salah seorang teman saya, tidak kaya, hidup pas-pasan, saat saya tanya hanya menjawab dengan kalimat yang sering saya dan mungkin banyak orang dengar.

"Ah gak apa-apa lah, setahun sekali ini"

Ya memang setahun sekali sih, sebagian orang pun akan berpikir seperti itu, tapi kalau saya, daripada untuk beli petasan lebih baik disimpan untuk kebutuhan setelah tahun baru nanti.


Alasan setahun sekali ini sering saya dengar dan kadang alasan ini digunakan untuk melakukan sebuah kesalahan. Contohnya, masih di malam tahun baru juga, konvoi tanpa helm, tanpa kelengkapan surat berkendara. Alasan yang pernah saya dengar adalah "Ah gak apa-apa malam tahun baru ini kan setahun sekali, polisi juga gak akan nilang".

Alasan yang aneh, karena helm itu digunakan untuk melindungi kepala. Pengendara di Indonesia memang kalau ditanya alasan menggunakan helm, sebagian besar jawabnya pasti "supaya gak ditilang". Kecuali kalau alasannya "Ah gak apa-apa, ini kan malam tahun baru, kepala gua ga akan bocor kalo setahun sekali doang kepentok aspal mah".

Agak aneh memang, tapi ya mungkin itu adalah hiburan sederhana yang bisa dilakukan untuk menyambut tahun yang baru, berharap di tahun berikutnya akan ada banyak perubahan kehidupan. Setelah di tahun-tahun sebelumnya menjalani kehidupan yang berat, melihat kembang api yang terbang ke atas, kemudian meledak dan muncul warna-warni yang indah seakan membawa semua masalah yang ada, terbang ke atas, meledak dan muncul lah harapan-harapan yang mungkin bisa membawa keindahan dalam hidup.



Apaan sih nih gua ngetiknya.
.
.
.
.
.
Gak apa-apa lah, setahun sekali ini.





Minggu, 03 Januari 2016

2016

Wah .... berasa ya sudah 2016 aja. Dan ini merupakan pertama kalinya lagi saya mengisi konten di blog yang sudah lama sekali saya tinggalkan. Bahkan postingan terakhir itu 2014 dan hanya mengutip kalimat seseorang.

Itu artinya di 2015 saya tidak memposting apapun di sini. Padahal sebetulnya banyak yang bisa diceritakan pada tahun tersebut, tapi sayanya terlalu malas, dan ya saya memang beberapa tahun terakhir jarang bercerita mengenai diri sendiri kepada orang-orang, apalagi berkaitan dengan masalah. Habis kalau saya cerita masalah ke orang-orang, bisa saja mereka juga sedang punya masalah, makin nambahin masalah aja pikir saya, jadi ya saya simpan sendiri saja.

Dan sekarang tahun 2016, baru 3 hari setelah malam tahun baru dan baru 4 tahun saya selamat dari kiamat yang di ramalkan. Mungkin saya harus mulai rajin menulis lagi di sini, ya harus dibiasakan, harus disiplin, semoga saja.

Sedikit cerita di tahun 2015, ada banyak kejadian yang cukup menyenangkan terjadi di tahun tersebut. Banyak pengalaman baru yang saya rasakan dan saya bersyukur bisa mengalaminya.


2014 akhir saya ikut audisi Stand Up Comedy Season 5 dari Kompas TV di Bandung, 2 mobil bersama teman-teman komunitas Stand Up Comedy Bekasi, dan hanya saya yang mendapat Golden Tiket. Awal 2015 tapi saya lupa bulannya karena tidak ingat, tapi kalau tanggalnya ...... juga tidak ingat, saya ditelepon bahwa saya lolos menjadi salah satu finalis, lalu karantina, lolos 16 besar, lolos 10 besar, hingga akhirnya tersingkir di 6 besar.

Sudah lumayan banyak yang kenal saya, banyak yang minta foto, tapi tidak ada yang ditweet. Aneh, biasanya orang minta foto untuk diposting di sosial medianya. Jangan-jangan mereka ikut-ikutan foto aja, atau habis foto, di rumah dia liat handphone, lalu bertanya-tanya, "gua foto sama siapa nih" lalu dihapus. Ya mungkin aja kan.

Banyak bertemu teman-teman baru, merasakan hidup di dunia TV, jadi tahu kehidupan pekerja TV, lalu saya berkesempatan main ke Markas TNI di Cijantung, Yonkav 7 kalau tidak salah, Batalyon Kavaleri yang mana isinya persenjataan berat dan alutista macam Panser. Saya pakai seragam TNI, naik Panser walaupun tidak nyetir sendiri, saya jadi merasa seperti tentara, dan mungkin satu-satunya tentara yang cina.

Main ke tempat fitness, yang sebelumnya saya merasa ini adalah tempat yang menurut saya tidak penting. Berolahraga, mau keringetan, tapi di ruangan AC. Bersepeda, ngegowes cepet, tapi tidak kemana-mana. Angkat-angkat barang berat, habis itu ditaro lagi.

Saya juga ikut kelas Yoga, selama 1 hari dan katanya Yoga itu membuat pikiran tenang, rileks dan tubuh jadi segar. Itu benar sekali, kalau dilihat di TV dan dibayangkan. Karena kenyataannya tidak seperti itu, tempatnya panas, saya duduk doang aja keringetan, belum lagi melakukan gerakan-gerakan yang sulit, karena tubuh saya tidak lentur, apalagi ini baru pertama kali. 30 menit saya nyerah, lebih memilih untuk duduk aja ngeliatin beberapa teman yang sepertinya tidak mau menyerah.

Bisa main film walaupun baru 2 scene dengan dialog, tapi semoga ini menjadi batu loncatan, yang mana beberapa tahun kedepan akan menjadi 3 scene, tapi filmnya hanya 2 scene saja, tapi scenenya panjang, 120 menit. Amin.

Di tahun 2015 masalah finansial puji Tuhan berkecukupan, walaupun job dari Stand Up Comedy tidak banyak seperti teman-teman yang lain, masih ada pekerjaan diluar itu yang menyumbang pundi-pundi rupiah untuk bertahan hidup.

Motor saya pun sudah lebih baik di tahun itu, 2x turun mesin untuk membetulkan oli-oli yang bocor dan ganti piston, cat ulang agar lebih rapi, dan hasilnya sudah lebih bersih dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tahun 2015 pun Stand Up Comedy mulai merambah ke TV lain, seperti Indosiar, MNC dan RCTI. Makin banyak panggung, makin banyak kesempatan.

Saya menutup tahun 2015 dengan biasa-biasa saja, tidak merayakan apapun, hanya di rumah, main game. Dan sampailah di tahun 2016, lalu apa yang akan saya alami di tahun ini ya? Ah siapa yang tahu, misteri yang membuat hidup jadi lebih menarik.

Dan setelah ini, mungkin saya akan berusaha lebih rajin untuk menulis di sini.

Semoga.